Kepunahan Budaya Indonesia
1. latar
belakang
Negara
Indonesia ini kaya akan alam, bermacam-macam suku,bahasa daerah,dan banyaknya
budaya. Kali ini saya ini membahas
tentang budaya-budaya Indonesia yang dikenal dunia tapi di negeri sendiri malah
sedikit yang melestarikannya. Sebut saja kesenian budaya seperti
Ludruk,Lenong,Reog,Wayang, Mamanda, Rudat,Tarling, tari Jaipong, alat musik
seperti Kecapi, Gamelan, Angklung,Sasando,Talindo,Babun,Alosu,Atowo,kegiatan
menenun, membatik dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sayangnya
para generasi penerus lebih menyukai berbagai macam kebudayaan luar negeri
dibandingkan dengan negeri sendiri.Ini
dikarenakan faktor perkembangan teknologi yang semakin pesat serta peran media
elektronik yang semakin menghilangkannya unsur budaya lokal sehingga para
generasi penurus menghabiskan waktu menikmati budaya luar lewat TV, Internet
dll.Tentu efeknya akan berkembang pada pola kehidupan sehari-hari,karena gaya
hidup remaja lebih rentan dan lebih mudah terhadap hal-hal yang dianggapnya
sebagai hal baru. Mereka enggan dan malu melestarikan budaya sendiri
dibandingkan menikmati budaya lain.
Ini terbukti
semakin kurangnya peminat budaya sendiri oleh para generasi penerus. Mencintai
budaya dari negeri lain boleh saja asalkan tidak melupakan budaya negeri
sendiri.Dan inilah parahnya,para remaja lebih berantusias menerima serta
menikmati budaya luar yang seharusnya menjadi minioritas dan budaya Indonesia
yang seharusnya menjadi mayoritas, kini terbalik begitu saja.Sekarang budaya
luar yang lebih menjamur di budaya kita.Jika ini dibiarkan, tentu saja kita
akan kehilangan budaya yang kita miliki dan akan punah ditelan budaya luar yang
menjamur ke negeri ini.
Sebagai
bangsa yang kaya akan budaya, kita patut bersyukur karena bangsa lain belum
tentu memiliki kekayaan budaya seperti kita. Walaupun begitu,kita tidak lantas
hanya mengapresiasikannya saja. Kita sebagai penerus bangsa juga harus ikut
berperan dalam melestarikan kelangsungan budaya yang diberikan dari nenek
moyang dan para leluhur kita agar tidak hilang dan punah akibat masuknya budaya
bangsa lain yang sekarang lebih mendominasi bangsa kita.Budaya kita seharusnya
menjadi penguasa di negeri sendiri,oleh karena itu mari kita bergerak
melestarikan budaya kita agar tetap terjaga selamanya.
2. Teori
Pernahkah
Anda mendengar istilah kepunahan atau kematian bahasa? Istilah ini saya rasa
sangat familiar bagi mahasiswa atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
bahasa. Disadari atau tidak peritiwa kebahasaan yang dinamakan dengan kepunahan
bahasa ini lambat laun dapat terjadi pada suatu bahasa. Di saat orang tak lagi
menggunakan suatu bahasa, tentu bahsa yang pada mulanya ada akan menjadi punah
atau tidak ada karena ketiadaan penuturnya. Bahkan dimungkinkan pula bahwa
penutur asli dari suatu bahsa lebih memilih untuk menggunakan bahsa lain karena
dirasa lebih strategis dan ditambah pula mereka tidak mahir atau menguasai
bahasa asli mereka. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah geerasi muda
(missal: di dareh Jawa) tidak fasih dan menguasai apa yang disebut dengan
bahasa krama, karena keterdesakan oleh bahasa lain yang lebih banyak mereka
gunakan dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Mereka bahkan lebih fasih
berbicara dengan bahasa Inggris daripada berbicara dengan menggunakan bahass
krama. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena tersebut,
misalnya mereka menggap bahasa Jawa (bahasa asli daerah) mereka kurang gaul
bila dibandingkan dengan bahasa Inggris, dan sebagainya.
Lalu apakah
yang dimaksud dengan peristiwa kepunahan bahasa ini? Sudahkah Anda memiliki
pemahaman yang cukup untuk menyikapi jika sewaktu-waktu bahasa asli Anda akan
hilang terkikis oleh zaman?
Bagaimanakah
sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai
lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah? Berkaitan dengan
hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian ( di dalam Sumarsono dan
Partana, 2002: 284) mengungkapkan jika kepunahan bahasa hanya dapat dipakai
bagi pergeseran total di dalam satu guyup atau komunitas saja dan pergeseran
itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang
satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah
tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan
prestise antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian
ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total
dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup atau kominitas tutur.
Akan tetapi, pada akhirnya para ahli bahasa ini menyimpulkan jika kepunahan
bahasa ini bisa mencakup pengertian yang luas dan terbatas.
Selanjutnya,
Kloss (di dalam Sumarsono dan Partana, 2002:286) menyebutkan bahwa ada tiga
tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa terjadinya
pergeseran bahasa; (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyub tutur
tidak berada dalam wilayah tutur yang kompak atau bahasa itu menyerah pada pertentangan
intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi; dan (3) kepunahan
bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya suatu bahasa tutur derajatnya
menjadi dialek ketika masyarakat tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai
memakai bahasa lain. Salah satu contoh bahasa yang mengalami kepunahan karena
pergeseran (terjadi pada abad ke-19) yakni bahasa Gaeltacht di Irlandia.
Masyarakat Irlandia lebih memilih untuk meninggalkan bahasanya dan menggantinya
dengan bahasa Inggris. Menurut beberapa ahli, faktor-faktor yang menyebabkan
kepunahan bahasa Gaeltacht tersebut, antara lain1)rapuhnya upaya untuk
melindungi dan mempertahankan Gaeltacht; 2) tidak mempunyai guyub tutur yang
terpusat di perkotaan; 3) terjadinya modernisasi; 4) adanya kehendak aktif dari
masyrakat untuk bergeser; 5) tidak cukupnya konsentrasi masyarakat untuk
menghadapi lingkungan yang kuat secara ekonomi dan canggih teknologinya; 6)
tidak adanya pengalihan (tansmisi) bahasa asli dari orang tua kepada
anak-anaknya; 7) tidak adanya optimisme akan masa depan bahasa.
Kepunahan
bahasa dapat pula dialami oleh bahasa Indonesia apabila masyarakat dan
pemerintah tidak bersikap tegas dan selektif terhadap berbagai budaya (bahasa)
yang masuk ke Indonesia. Menurut Halim (melalui Muslih, 2010: 20) setelah
bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan
ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa
Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara
masyarakat. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah.
Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi ilmuan kita
yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu
menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam disiplin
ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada apa yang
dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Upaya-upaya
yang bisa dilakukan untuk mencegah sekaligus menangani ancaman kepunahan
bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, antara lain 1) vitalisasi
etnolinguistik; 2) menggiatkan penerbitan majalah berbahasa daerah bagi media
cetak dan menyediakan program khusus berbahasa daerah; 3) memasukkan sebagian
kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional; 4) menjadikan bahasa daerah
sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan; 5) membentuk
jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus
membidangi bahasa daerah.
Penyebab
Kepunahan Bahasa
UNESCO mengatakan: When a language dies, the world loses valuable
cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge
gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia
kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan
pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.
Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10)
mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua
tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara
aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebagai contoh
adalah orangtua keturunan Sumatra yang kita sebut saja memakai bahasa A. Karena
pergeseran penggunaan bahasa A, orang tua tersebut mendidik anak-anaknya untuk
memakai bahasa Indonesia dalam keluarganya. Didikan seperti itu sangat
dianjurkan. Namun, bahasa daerah kita sendiri jangan ditinggalkan, budaya
berbahasa kita sendiri juga harus mengerti dan fasih. Gerak ke arah kepunahan
akan menjadi lebih cepat apabila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan
dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam ranah sehari-hari; atau semakin
meluasnya ketiadaan pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah
keluarga.
Sedangkan
Landweer (dalam Ibrahim, 2008: 11) mengemukakan sebab lain punahnya suatu
bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan
penggunaan bahasa sebagian besar
masyarakat tuturnya. Seringkali terjadi diskrimitatif, bahwa orang yang berbahasa
daerah adalah orang-orang kampungan. Karena itu, orang lebih memilih untuk
tidak memakai bahasa daerah. Hal ini terkait dengan sikap dan pemertahanan
bahasa masyarakat tuturnya. Jika orang tua tidak memilih untuk memakai bahasa
daerah di samping bahasa Indonesia kepada keturunananya, maka pergerakan bahasa
ke arah kepunahan akan semakin cepat.
Di luar soal
pemertahanan bahasa terdapat berbagai hal penting yang mendorong percepatan
kepunahan suatu bahasa. Hal tersebut adalah bahasa daerah yang jumlah penuturnya
sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak memiliki tulisan. Dengan
demikian, tradisi lisan yang berkembang, jika tidak segera didokumentasikan,
akan sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Ditambah lagi, adanya tuntutan
bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa
nasional.
Selain itu,
terdapat faktor-faktor yang turut mempercepat kepunahan suatu bahasa. Summer
Institute of linguistics (SIL) mengemukakan setidaknya terdapat 12 faktor:
(1) kecilnya
jumlah penutur
(2) usia
penutur
(3)
digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak
(4)
pengunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam
(5) perasaan
identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum
(6)
urbanisasi kaum muda
(7) kebijakan
pemerintah
(8) penggunaan
bahasa dalam pendidikan
(9) intrusi
dan eksploitasi ekonomi
(10)
keberaksaraan
(11)
kebersastraan
(12)
kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula
tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara
berdampingan (Ibrahim 2008:10).
Dua belas faktor tersebut sangat berpengaruh
terhadap upaya pencegahan punahnya suatu bahasa. Dengan melihat pada
faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa sehingga kita dapat mempelajari
dan melakukan usaha agar kepunahan bahasa dapat dicegah.
Penyebab Budaya
Tradisional Hilang
Budaya
nasional yang seharusnya menjadi kebanggaan dan harusnya di pertahankan
sekarang mulai hilang dikarenakan masuknya budaya asing (modern). Kita sebagai
warga negara indonesia yang mempunyai hak penuh atas kebudayaan tersebut
seharusnya melestarikannya bukan malah mengesampingkannya dengan berbagai
alasan seperti takut dibilang
ketinggalan jaman, takut dibilang kupper, katrok, dan lain sebagainya.
Jika ditinjau
melalui aspek global, globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan
juga yang terkait dengan kebudayaan. Budaya tradisional yang mencerminkan etos
kerja yang kurang baik tidak akan mampu bertahan dalam era global. Era global
menuntut kesiapan kita untuk siap berubah menyesuaikan perubahan zaman dan
mampu mengambil setiap kesempatan. Budaya tradisional di Indonesia sebenarnya
lebih kreatif dan tidak bersifat meniru, yang menjadi masalah adalah
mempertahankan jati diri bangsa. Sebagai contoh sederhana, budaya gotong royong
di Indonesia saat ini hampir terkikis habis, individual dan tidak mau tahu
dengan orang lain adalah cerminan yang tampak saat ini. Perlu dipikirkan agar
kebudayaan kita tetap dapat mencerminkan kepribadian \bangsa. Kebudayaan tradisional
adalah sebuah warisan luhur.
Dalam era
globalisasi, kebudayaan tradisional mulai mengalami erosi. Orang, anak muda
utamanya lebih senang menghabiskan waktunya untuk mengakses internet dari pada
mempelajari tarian dari kebudayaan sendiri. Orang akan merasa bangga ketika
dapat menuru gaya berpakaian orang barat dan menganggap budayanya kuno dan
ketinggalan. Globalisasi akan selalu memberikan perubahan, kita lah yang harus
meneliti apakah budaya-budaya tersebut bersifat positif ataupun negatife.
Cara-cara Untuk
Menjaga Kelestarian Budaya Tradisional
Budaya yang
dahulu tak ternilai harganya, kini justru menjadi budaya yang tak bernilai di
mata masyarakat. Sikap yang tak menghargai itu memberikan dampak yang cukup
buruk bagi perkembangan budaya tradisional di negara kita. Mengapa? Karena
salah satu cara untuk melestarikan budaya trsdisional adalah sikap dan perilaku
dari masyarakatnya sendiri. Jika dalam diri setiap masyarakat terdapat jiwa
nasionalis yang dominan, melestarikan budaya tradisional merupakan suatu
kebanggaan, tapi generasi muda sekarang ini justru beranggapan yang sebaliknya,
sehingga mereka menggagap melestarikan budaya itu suatu paksaan. Jadi
kelestarian buadaya tradisional itu juga sangat bergantung pada jiwa nasionais
generasi mudanya.
Sebagai para
generasi muda penerus bangsa, jiwa dan sikap nasionalis sangatlah diperlukan.
Bukan hanya untuk kepentingan politik saja kita dituntut untuk berjiwa
nasionalis, tetapi dalam mempertahankan dan melestarikan budayapun juga
demikian. Kita butuh untuk menyadari bahwa untuk mempertahankan budaya
peninggalan sejarah itu tidak mudah. Butuh pengorbanan yang besar pula. Oleh
karenanya tak cukup apabila hanya ada satu generasi muda yang mau untuk tapi
yang lain masa bodoh. Dalam melakukannya dibutuhkan kebersamaan untuk saling
mendukung dan mengisi satu sama lain. Dalam kata lain dalam menjaga kelestarian
budaya juga diperlukan kekompakan untuk saling mengisi dan mendukung.
3.
Kesimpulan
Fakta
kepunahan bahasa cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang
terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat sedikit.
Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh bahasa daerah yang
jumlah penuturnya sedikit cenderung tidak memiliki tulisan dan berkurangnya
pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah. Selain itu, adanya tuntutan bahasa
daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Untuk
mencegahan kepunahan bahasa tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata
pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya, melainkan
dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa
tutur aktif.
4. Daftar
Pustaka
·
Sarjono.
Agus R (Editor). 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
·
Kamal
Pasha, Musthafa, dkk. 2000. Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta : Cipta Karsa
Mandiri.
·
Ranjabar,
Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia (suatu pengantar). Ghalia
Indonesia: Bogor.
·
Sumarsono
& Partana, P.. 2004. Sosiolinguitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
·
Muhamad
Kadir SH,ilmu budaya dasar;Fajar Agung,Jakarta 1990
·
Mustopo,M.Habib;Manusia
dan kebudayaan;UsahaNasional-Surabaya,1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar