Senin, 21 Maret 2016

Kepunahan budaya indonesia

Kepunahan Budaya Indonesia

1. latar belakang
Negara Indonesia ini kaya akan alam, bermacam-macam suku,bahasa daerah,dan banyaknya budaya. Kali ini saya ini  membahas tentang budaya-budaya Indonesia yang dikenal dunia tapi di negeri sendiri malah sedikit yang melestarikannya. Sebut saja kesenian budaya seperti Ludruk,Lenong,Reog,Wayang, Mamanda, Rudat,Tarling, tari Jaipong, alat musik seperti Kecapi, Gamelan, Angklung,Sasando,Talindo,Babun,Alosu,Atowo,kegiatan menenun, membatik dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sayangnya para generasi penerus lebih menyukai berbagai macam kebudayaan luar negeri dibandingkan dengan  negeri sendiri.Ini dikarenakan faktor perkembangan teknologi yang semakin pesat serta peran media elektronik yang semakin menghilangkannya unsur budaya lokal sehingga para generasi penurus menghabiskan waktu menikmati budaya luar lewat TV, Internet dll.Tentu efeknya akan berkembang pada pola kehidupan sehari-hari,karena gaya hidup remaja lebih rentan dan lebih mudah terhadap hal-hal yang dianggapnya sebagai hal baru. Mereka enggan dan malu melestarikan budaya sendiri dibandingkan menikmati budaya lain.
Ini terbukti semakin kurangnya peminat budaya sendiri oleh para generasi penerus. Mencintai budaya dari negeri lain boleh saja asalkan tidak melupakan budaya negeri sendiri.Dan inilah parahnya,para remaja lebih berantusias menerima serta menikmati budaya luar yang seharusnya menjadi minioritas dan budaya Indonesia yang seharusnya menjadi mayoritas, kini terbalik begitu saja.Sekarang budaya luar yang lebih menjamur di budaya kita.Jika ini dibiarkan, tentu saja kita akan kehilangan budaya yang kita miliki dan akan punah ditelan budaya luar yang menjamur ke negeri ini.
Sebagai bangsa yang kaya akan budaya, kita patut bersyukur karena bangsa lain belum tentu memiliki kekayaan budaya seperti kita. Walaupun begitu,kita tidak lantas hanya mengapresiasikannya saja. Kita sebagai penerus bangsa juga harus ikut berperan dalam melestarikan kelangsungan budaya yang diberikan dari nenek moyang dan para leluhur kita agar tidak hilang dan punah akibat masuknya budaya bangsa lain yang sekarang lebih mendominasi bangsa kita.Budaya kita seharusnya menjadi penguasa di negeri sendiri,oleh karena itu mari kita bergerak melestarikan budaya kita agar tetap terjaga selamanya.

2. Teori
Pernahkah Anda mendengar istilah kepunahan atau kematian bahasa? Istilah ini saya rasa sangat familiar bagi mahasiswa atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bahasa. Disadari atau tidak peritiwa kebahasaan yang dinamakan dengan kepunahan bahasa ini lambat laun dapat terjadi pada suatu bahasa. Di saat orang tak lagi menggunakan suatu bahasa, tentu bahsa yang pada mulanya ada akan menjadi punah atau tidak ada karena ketiadaan penuturnya. Bahkan dimungkinkan pula bahwa penutur asli dari suatu bahsa lebih memilih untuk menggunakan bahsa lain karena dirasa lebih strategis dan ditambah pula mereka tidak mahir atau menguasai bahasa asli mereka. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah geerasi muda (missal: di dareh Jawa) tidak fasih dan menguasai apa yang disebut dengan bahasa krama, karena keterdesakan oleh bahasa lain yang lebih banyak mereka gunakan dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Mereka bahkan lebih fasih berbicara dengan bahasa Inggris daripada berbicara dengan menggunakan bahass krama. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena tersebut, misalnya mereka menggap bahasa Jawa (bahasa asli daerah) mereka kurang gaul bila dibandingkan dengan bahasa Inggris, dan sebagainya.
Lalu apakah yang dimaksud dengan peristiwa kepunahan bahasa ini? Sudahkah Anda memiliki pemahaman yang cukup untuk menyikapi jika sewaktu-waktu bahasa asli Anda akan hilang terkikis oleh zaman?
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah? Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian ( di dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 284) mengungkapkan jika kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup atau komunitas saja dan pergeseran itu terjadi dari satu bahasa ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa. Artinya, bahasa yang punah tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise antarragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup atau kominitas tutur. Akan tetapi, pada akhirnya para ahli bahasa ini menyimpulkan jika kepunahan bahasa ini bisa mencakup pengertian yang luas dan terbatas.
Selanjutnya, Kloss (di dalam Sumarsono dan Partana, 2002:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu (1) kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa; (2) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyub tutur tidak berada dalam wilayah tutur yang kompak atau bahasa itu menyerah pada pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi; dan (3) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya suatu bahasa tutur derajatnya menjadi dialek ketika masyarakat tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain. Salah satu contoh bahasa yang mengalami kepunahan karena pergeseran (terjadi pada abad ke-19) yakni bahasa Gaeltacht di Irlandia. Masyarakat Irlandia lebih memilih untuk meninggalkan bahasanya dan menggantinya dengan bahasa Inggris. Menurut beberapa ahli, faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa Gaeltacht tersebut, antara lain1)rapuhnya upaya untuk melindungi dan mempertahankan Gaeltacht; 2) tidak mempunyai guyub tutur yang terpusat di perkotaan; 3) terjadinya modernisasi; 4) adanya kehendak aktif dari masyrakat untuk bergeser; 5) tidak cukupnya konsentrasi masyarakat untuk menghadapi lingkungan yang kuat secara ekonomi dan canggih teknologinya; 6) tidak adanya pengalihan (tansmisi) bahasa asli dari orang tua kepada anak-anaknya; 7) tidak adanya optimisme akan masa depan bahasa.
Kepunahan bahasa dapat pula dialami oleh bahasa Indonesia apabila masyarakat dan pemerintah tidak bersikap tegas dan selektif terhadap berbagai budaya (bahasa) yang masuk ke Indonesia. Menurut Halim (melalui Muslih, 2010: 20) setelah bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi ilmuan kita yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah sekaligus menangani ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, antara lain 1) vitalisasi etnolinguistik; 2) menggiatkan penerbitan majalah berbahasa daerah bagi media cetak dan menyediakan program khusus berbahasa daerah; 3) memasukkan sebagian kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa nasional; 4) menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan; 5) membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah.
Penyebab Kepunahan Bahasa
            UNESCO mengatakan: When a language dies, the world loses valuable cultural heritage - a great deal of the legends, poems and the knowledge gathered by generations is simply lost. Ketika sebuah bahasa punah, dunia kehilangan warisan yang sangat berharga – sejumlah besar legenda, puisi, dan pengetahuan yang terhimpun dari generasi ke generasi akan ikut punah.
            Grimes (dalam Ibrahim 2008, 10) mengatakan sebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebagai contoh adalah orangtua keturunan Sumatra yang kita sebut saja memakai bahasa A. Karena pergeseran penggunaan bahasa A, orang tua tersebut mendidik anak-anaknya untuk memakai bahasa Indonesia dalam keluarganya. Didikan seperti itu sangat dianjurkan. Namun, bahasa daerah kita sendiri jangan ditinggalkan, budaya berbahasa kita sendiri juga harus mengerti dan fasih. Gerak ke arah kepunahan akan menjadi lebih cepat apabila disertai dengan semakin berkurangnya cakupan dan jumlah ranah penggunaan bahasa dalam ranah sehari-hari; atau semakin meluasnya ketiadaan pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah, terutama ranah keluarga.
Sedangkan Landweer (dalam Ibrahim, 2008: 11) mengemukakan sebab lain punahnya suatu bahasa bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan bahasa  sebagian besar masyarakat tuturnya. Seringkali terjadi diskrimitatif, bahwa orang yang berbahasa daerah adalah orang-orang kampungan. Karena itu, orang lebih memilih untuk tidak memakai bahasa daerah. Hal ini terkait dengan sikap dan pemertahanan bahasa masyarakat tuturnya. Jika orang tua tidak memilih untuk memakai bahasa daerah di samping bahasa Indonesia kepada keturunananya, maka pergerakan bahasa ke arah kepunahan akan semakin cepat.
Di luar soal pemertahanan bahasa terdapat berbagai hal penting yang mendorong percepatan kepunahan suatu bahasa. Hal tersebut adalah bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung merupakan bahasa yang tidak memiliki tulisan. Dengan demikian, tradisi lisan yang berkembang, jika tidak segera didokumentasikan, akan sangat sulit mempertahankan eksistensinya. Ditambah lagi, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang turut mempercepat kepunahan suatu bahasa. Summer Institute of linguistics (SIL) mengemukakan setidaknya terdapat 12 faktor:
(1) kecilnya jumlah penutur
(2) usia penutur
(3) digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak
(4) pengunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam
(5) perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum
(6) urbanisasi kaum muda
(7) kebijakan pemerintah
(8) penggunaan bahasa dalam pendidikan
(9) intrusi dan eksploitasi ekonomi
(10) keberaksaraan
(11) kebersastraan
(12) kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra. Selain itu, ada pula tekanan bahasa dominan dalam suatu wilayah masyarakat multibahasa secara berdampingan (Ibrahim 2008:10).
 Dua belas faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan punahnya suatu bahasa. Dengan melihat pada faktor-faktor yang mempercepat kepunahan bahasa sehingga kita dapat mempelajari dan melakukan usaha agar kepunahan bahasa dapat dicegah.

Penyebab Budaya Tradisional Hilang
Budaya nasional yang seharusnya menjadi kebanggaan dan harusnya di pertahankan sekarang mulai hilang dikarenakan masuknya budaya asing (modern). Kita sebagai warga negara indonesia yang mempunyai hak penuh atas kebudayaan tersebut seharusnya melestarikannya bukan malah mengesampingkannya dengan berbagai alasan seperti  takut dibilang ketinggalan jaman, takut dibilang kupper, katrok, dan lain sebagainya.
Jika ditinjau melalui aspek global, globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan juga yang terkait dengan kebudayaan. Budaya tradisional yang mencerminkan etos kerja yang kurang baik tidak akan mampu bertahan dalam era global. Era global menuntut kesiapan kita untuk siap berubah menyesuaikan perubahan zaman dan mampu mengambil setiap kesempatan. Budaya tradisional di Indonesia sebenarnya lebih kreatif dan tidak bersifat meniru, yang menjadi masalah adalah mempertahankan jati diri bangsa. Sebagai contoh sederhana, budaya gotong royong di Indonesia saat ini hampir terkikis habis, individual dan tidak mau tahu dengan orang lain adalah cerminan yang tampak saat ini. Perlu dipikirkan agar kebudayaan kita tetap dapat mencerminkan kepribadian \bangsa. Kebudayaan tradisional adalah sebuah warisan luhur.
Dalam era globalisasi, kebudayaan tradisional mulai mengalami erosi. Orang, anak muda utamanya lebih senang menghabiskan waktunya untuk mengakses internet dari pada mempelajari tarian dari kebudayaan sendiri. Orang akan merasa bangga ketika dapat menuru gaya berpakaian orang barat dan menganggap budayanya kuno dan ketinggalan. Globalisasi akan selalu memberikan perubahan, kita lah yang harus meneliti apakah budaya-budaya tersebut bersifat positif ataupun negatife.

Cara-cara Untuk Menjaga Kelestarian Budaya Tradisional
Budaya yang dahulu tak ternilai harganya, kini justru menjadi budaya yang tak bernilai di mata masyarakat. Sikap yang tak menghargai itu memberikan dampak yang cukup buruk bagi perkembangan budaya tradisional di negara kita. Mengapa? Karena salah satu cara untuk melestarikan budaya trsdisional adalah sikap dan perilaku dari masyarakatnya sendiri. Jika dalam diri setiap masyarakat terdapat jiwa nasionalis yang dominan, melestarikan budaya tradisional merupakan suatu kebanggaan, tapi generasi muda sekarang ini justru beranggapan yang sebaliknya, sehingga mereka menggagap melestarikan budaya itu suatu paksaan. Jadi kelestarian buadaya tradisional itu juga sangat bergantung pada jiwa nasionais generasi mudanya.
Sebagai para generasi muda penerus bangsa, jiwa dan sikap nasionalis sangatlah diperlukan. Bukan hanya untuk kepentingan politik saja kita dituntut untuk berjiwa nasionalis, tetapi dalam mempertahankan dan melestarikan budayapun juga demikian. Kita butuh untuk menyadari bahwa untuk mempertahankan budaya peninggalan sejarah itu tidak mudah. Butuh pengorbanan yang besar pula. Oleh karenanya tak cukup apabila hanya ada satu generasi muda yang mau untuk tapi yang lain masa bodoh. Dalam melakukannya dibutuhkan kebersamaan untuk saling mendukung dan mengisi satu sama lain. Dalam kata lain dalam menjaga kelestarian budaya juga diperlukan kekompakan untuk saling mengisi dan mendukung.

3. Kesimpulan
Fakta kepunahan bahasa cukup mencengangkan, Mengingat banyaknya jumlah bahasa yang terancam punah serta jumlah penutur bahasa daerah yang sangat sedikit. Kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia disebabkan oleh bahasa daerah yang jumlah penuturnya sedikit cenderung tidak memiliki tulisan dan berkurangnya pengunaan bahasa dalam sejumlah ranah. Selain itu, adanya tuntutan bahasa daerah untuk bersaing dengan bahasa Indonesia yang berstatus bahasa nasional.
Untuk mencegahan kepunahan bahasa tidak hanya sekedar membuat kurikulum mata pelajaran di sekolah atau menuliskannya di papan nama jalan raya, melainkan dengan tindakan yang lebih kongkret yaitu dengan menjadikannya sebagai bahasa tutur aktif.

4. Daftar Pustaka
·        Sarjono. Agus R (Editor). 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
·        Kamal Pasha, Musthafa, dkk. 2000. Ilmu Budaya Dasar. Yogyakarta : Cipta Karsa Mandiri.
·        Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia (suatu pengantar). Ghalia Indonesia: Bogor.
·        Sumarsono & Partana, P.. 2004. Sosiolinguitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
·        Muhamad Kadir SH,ilmu budaya dasar;Fajar Agung,Jakarta 1990
·        Mustopo,M.Habib;Manusia dan kebudayaan;UsahaNasional-Surabaya,1990


Tidak ada komentar:

Posting Komentar